Sabtu, 12 Oktober 2013

Ethical Governance



NAMA                    : Andri Kevin Akbar
NPM                       : 2A21311
KELAS                  : 4 EB 20
MATA KULIAH : Etika Profesi Akuntansi

1.    Sistem Pemerintahan (Governance system )
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi, suatu himpunan atau perpaduan ha-hal atau bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks. Di dalam sistem ada komponen yang terhubung dan mempunyai fungsi masing-masing terhubung menjadi sistem menurut pola. Sistem merupakan susunan pandangan, teori, asas yang teratur. Sistem adalah metode.
Prinsipnya, pada tiap sistem selalu terdiri dari empat elemen:
  • Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, maupun variabel. Ia dapat benda fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem tersebut
  • Lingkungan, tempat di mana sistem berada.
  • Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.
  • Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya.

Syarat-syarat sistem :
  • Sistem wajib dibuat untuk mengatasi masalah.
  • Unsur dasar dari proses ( energi, arus informasi dan material) lebih penting dari pada elemen sistem.
  • Terdapat hubungan diantara elemen sistem.
  • Elemen sistem harus memiliki rencana yang ditetapkan.
  • Tujuan organisasi lebih penting dari pada tujuan elemen.


Berkaitan dengan pemerintahan, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, atau asas tentang pemerintahan negara.

Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, menurut UU no 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintahan adalah Suatu proses ketatanegaraan dalam suatu negara. Pemerintahan di jalankan oleh alat kelengkapan yaitu pemerintah. Pemerintah sebagai alat pelaksana dan kelengkapan pemerintahan memiliki fungsi melaksanakan tugas-tugas esensial dan fakultatif negara. Tugas esensial adala mempertahankan negara sebagai organisasi yang berdaulat. Tugas esensial disebut juga tugas asli negara. Tugas fakultatif negara adalah untuk memperbesar kesejahteraan umum baik moral, intelektual, sosial, dan ekonomi.

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontiniu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut

2.    Budaya Etika
Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya. Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Suara hati manusia menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, tergantung pada kepribadian atau jati diri masing-masing. Manusia berbuat baik atau berbuat buruk karena bisikan suara hatinya ( consience of man ).
Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya, misalnya mencintai orang tua, guru, pemimpin dan lain – lain, disamping itu kesusilaan melarang orang berbuat kejahatan seperti mencuri, berbuat cabul dan lain – lain. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri, seperti penyesalan, keresahan dan lain – lain. Saksi bagi mereka yang melanggar kesopanan adalah dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar dan bersifat otonom.
Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam pergaulan sehari – hari bermasyarakat, berpemerintahan dan lain – lain.
Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan, keperdulian, kesenonohan yang berlaku dalam pergaulan ( masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara ). Kesopanan disebut pula sopan santun, tata krama, adat, costum, habit. Kalau kesusilaan ditujukan kepada sikap batin (batiniah ), maka kesopanan dititik beratkan kepada sikap lahir ( lahiriah ) setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan. Tujuan bukan pribadinya akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial (communal, community, society, group, govern dan lain – lain ), yaitu kehidupan masyarakat, pemerintah, berbangsa dan bernegara. Sanksi terhadap pelanggaran kesopanan adalah mendapat celaan di tengah – tengah masyarakat lingkungan, dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan. Sanksi dipaksakan oleh pihak luar (norma, kaedah yang ada dan hidup dalam masyarakat ). Sanksi kesopanan dipaksakan oleh pihak luar oleh karena itu bersifat heretonom.
Khususnya dalam masa krisis atau perubahan, prinsip pemerintahan dan fundamental etika-nya di dalam masyarakat sering kali dipertanyakan dan kesenjangan antara ideal dan kenyataan ditantang. Belum lagi, kita mengerti diskusi Etika Pemerintahan sebagai diskursus berjalan dalam pengertian bersama tentang apa yang membuat pemerintahan itu baik, dan langkah konkrit yang mana yang harus dilakukan dalam rangka berangkat dari konsensus bersama ke pemerintahan praktis itu adalah indikator demokrasi dan masyarakat multidimensi.
Good governance merupakan tuntutan yang terus menerus diajukan oleh publik dalam perjalanan roda pemerintahan. Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon positif oleh aparatur penyelenggaraan pemerintahan. Good governance mengandung dua arti yaitu :
1.      Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang hidup dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Good governance mengarah kepada asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.      Pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien. Mengacu kepada struktur dan kapabilitas pemerintahan serta mekanisme sistem kestabilitas politik dan administrasi negara yang bersangkutan.
Untuk penyelenggaraan Good governance tersebut maka diperlukan etika pemerintahan. Etika merupakan suatu ajaran yang berasal dari filsafat mencakup tiga hal yaitu :
1.      Logika, mengenai tentang benar dan salah.
2.      Etika, mengenai tentang prilaku baik dan buruk.
3.      Estetika, mengenai tentang keindahan dan kejelekan.
Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata "Virtus" yang berarti keutamaan dan baik sekali, serta bahasa Yunani yaitu kata "Arete" yang berarti utama. Dengan demikian etika merupakan ajaran-ajaran tentang cara berprilaku yang baik dan yang benar. Prilaku yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat dengan hakekat dan kodrat manusia yang luhur. Oleh karena itu kehidupan politik pada jaman Yunani kuno dan Romawi kunobertujuan untuk mendorong, meningkatkan dan mengembangkan manifestasi-manifestasi unsur moralitas. Kebaikan hidup manusia yang mengandung empat unsur yang disebut juga empat keutamaan yang pokok (the four cardinal virtues) yaitu :
1.      Kebijaksanaan, pertimbangan yang baik (prudence).
2.      Keadilan (justice).
3.      Kekuatan moral, berani karena benar, sadar dan tahan menghadapi godaan(fortitude).
4.      Kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan perbuatan harus sejalan atau "catur murti" (temperance).
Pada jaman Romawi kuno ada penambahan satu unsur lagi yaitu "Honestum"yang artinya adalah kewajiban bermasyarakatan, kewajiban rakyat kepada negaranya. Dalam perkembangannya pada masa abad pertengahan, keutamaan tersebut bertambah lagi yang berpengaruh dari Kitab Injil yaitu Kepercayaan (faith), harapan (hope) dan cinta kasih (affection). Pada masa abad pencerahan (renaissance) bertambah lagi nilai-nilai keutamaan tersebut yaituKemerdekaan (freedom), perkembangan pribadi (personal development),dan kebahagiaan (happiness).
Pada abad ke 16 dan 17 untuk mencapai perkembangan pribadi (personal development) dan kebahagiaan (happiness) tersebut dianjurkan mengembangkan kekuataan jiwa (animositas), kemurahan hati (generositas),dan keutamaan jiwa (sublimitas).
Dengan demikian etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD negara.
kalau melihat sistematika filsafat yang terdiri dari filsafat teoritis,"mempertanyakan yang ada", sedangkan filsafat praktis"mempertanyakan bagaimana sikap dan prilaku manusia terhadap yang ada". Dan filsafat etika. Oleh karena itu filsafat pemerintahan termasuk dalam kategori cabang filsafat praktis. Filsafat pemerintahan berupaya untuk melakukan suatu pemikiran mengenai kebenaran yang dilakukan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengacu kepada kaedah-kaedah atau nilai-nilai baik formal maupun etis. Dalam ilmu kaedah hukum (normwissenchaft atau sollenwissenschaft) menurutHans Kelsen yaitu menelaah hukum sebagai kaedah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum meliputi Kenyataan idiil (rechts ordeel) dan Kenyataan Riil(rechts werkelijkheid). Kaedah merupakan patokan atau pedoman atau batasan prilaku yang "seharusnya". Proses terjadinya kaedah meliputi : Tiruan (imitasi)dan Pendidikan (edukasi). Adapun macam-macam kaedah mencakup, Pertama :Kaedah pribadi, mengatur kehidupan pribadi seseorang, antara lain :
1.      Kaedah Kepercayaan, tujuannya adalah untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau hidup beriman. meliputi : kaedah fundamentil (abstrak), contoh : manusia harus yakin dan mengabdi kepada Tuhan YME. Dankaedah aktuil (kongkrit), contoh : sebagai umat islam, seorang muslim/muslimah harus sholat lima waktu.
2.      Kaedah Kesusilaan, tujuannya adalah untuk kebaikan hidup pribadi, kebaikan hati nurani atau akhlak. Contoh : kaedah fundamentil, setiap orang harus mempunyai hati nurani yang bersih. Sedangkan kaedah aktuilnya, tidak boleh curiga, iri atau dengki.
KeduaKaedah antar pribadi mencakup :
1.      Kaedah Kesopanan, tujuannya untuk kesedapan hidup antar pribadi, contoh : kaedah fundamentilnya, setiap orang harus memelihara kesedapan hidup bersama, sedangkan kaedah aktuilnya, yang muda harus hormat kepada yang tua.
2.      Kaedah Hukum, tujuannya untuk kedamaian hidup bersama, contoh :kaedah fundametilnya, menjaga ketertiban dan ketentuan, sedangkankaedah aktuilnya, melarang perbuatan melawan hukum serta anarkis.Mengapa kaedah hukum diperlukanPertama : karena dari ketiga kaedah yang lain daripada kaedah hukum tidak cukup meliputi keseluruhan kehidupan manusia. kedua : kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas atau tidak seyogyanya, apabila hanya diatur oleh ketiga kaedah tersebut.
filsafat pemerintahan ini diimplementasikan dalam etika pemerintahan yang membahas nilai dan moralitas pejabat pemerintahan dalam menjalankan aktivitas roda pemerintahan. Oleh karena itu dalam etika pemerintahan dapat mengkaji tentang baik-buruk, adil-zalim, ataupun adab-biadab prilaku pejabat publik dalam melakukan aktivitas roda pemerintahan. Setiap sikap dan prilaku pejabat publik dapat timbulkan dari kesadaran moralitas yang bersumber dari dalam suara hati nurani meskipun dapat diirasionalisasikan.
Contoh dalam kehidupan masyarakat madani (civil society) ataupun masyarakat demokratis, nilai dan moralitas yang dikembangkan bersumber kepada kesadaran moral tentang kesetaraan (equlity)kebebasan (freedom)menjunjung tinggi hukum, dan kepedulian atau solidaritas.
Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial)Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahanadalah :
1.      Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
2.      kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).
3.      Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4.      kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude).
5.      Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
6.      Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya seperti prinsip demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat manusia (HAM), kesejahteraan rakyat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan. Oleh karena itu dalam etiak pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk.
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya.

MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN
Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip moral tentang baik dan buruk dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara.
Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang profesional yaitu code PNS, code etik kedokteran, code etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya.
LANDASAN ETIKA PEMERINTAHAN INDONESIA
1. Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI.
2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090 ).
5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
6. PP No. 60 tentang Disiplin Pegawai Negeri .
MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN SEHAT
( GOOD GOVERNANCE )
1. Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional )
2. Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya (legitimate )
3. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat (public, private and society sector )
4. Pemerintahan yang ditopang dengan prinsip – prinsip pemerintahan yaitu :
a. Prinsip Penegakkan Hukum,
b. Akuntabilitas,
c. Demokratis,
d. Responsif,
e. Efektif dan Efisensi,
f. Kepentingan Umum,
g. Keterbukaan,
h. Kepemimpinan Visoner dan
i. Rencana Strategis.
5. Pemerintahan yang menguatkan fungsi : kebijakan publik (Public Policy ), pelayanan publik ( Public Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ), pemberdayaan masyarakat ( Social Empowering ) dan privatisasi ( Privatization )

2.    Mengembangkan Struktur Etika Koperasi

Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

3.    Kode Perilaku Korporasi
Pengertian Code of Conduct (Pedoman Perilaku) :
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis PT. Perkebunan dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct.
4.    Evaluasi Terhadap Kode Perilaku Korporasi

Melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005.
Pengaruh etika terhadap budaya terbagi 2 yaitu :
1.Etika Personal dan etika bisnis merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer yang terinternalisasi menjadi perilaku organisasi yang selanjutnya mempengaruhi budaya perusahaan.
2.Jika etika menjadi nilai dan keyakinan yang terinternalisasi dalam budaya perusahaan maka hal tersebut berpotensi menjadi dasar kekuatan persusahaan yang pada gilirannya berpotensi menjadi sarana peningkatan kerja

Sumber :
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106:tujuan-system-a-prinsip-gcg&catid=68:good-corporate-governance&Itemid=101
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fmaksi.unsoed.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2012%2F04%2FBUDAYA-PERUSAHAAN-DAN-ETIKA.pptx&ei=9ll2UMvHNoXqrAeq0oHADw&usg=AFQjCNGnYjJgx260Rb3Q2uvf8PZdkh1iaA
http://enomutzz.wordpress.com/tag/etika-profesi-akuntansi/

Kamis, 10 Oktober 2013

Neraca Koperasi


LAPORAN LABA RUGI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwgFpsW0NDnyoAFZpBaC_BgtDEBv6Sc5c0rYQS8Lo-y_WvC3sf3Ea_Ojbqi16MYKOGMl1uLJ4jCVuV6_dpbb0J_Z3i0KuPVVqRWeKuDSTNOd1e_aALluQEYf6_0oM_jyePFW2mJas7Sv0/s320/IMG.jpg


NERACA KEUANGAN
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfVXVeEgwQ9yHGUPFJGMvqTSscAXMnB0DIuaJQEzYOMkzGqtdQqWtJCFQsyww_jiYv_jjY5y0lSywfLYhI_5HvI-0j0OWrfEYgBnTiyI9T2QVHZlwNjIZt7kMFAetThGWSQvw1EcP0Tt8/s320/Untitled-1.png



Hukum Undang - Undang Koperasi


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2012
TENTANG
PERKOPERASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a.  bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan
untuk mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi
Indonesia melalui pengelolaan sumber daya ekonomi
dalam suatu iklim pengembangan dan pemberdayaan
Koperasi yang memiliki peran strategis dalam tata ekonomi
nasional berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi
ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dalam
suatu kebijakan Perkoperasian harus mencerminkan nilai
dan prinsip Koperasi sebagai wadah usaha bersama untuk
memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi Anggota
sehingga tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri, dan
tangguh dalam menghadapi perkembangan ekonomi
nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh
tantangan;
c. bahwa kebijakan Perkoperasian selayaknya selalu
berdasarkan ekonomi kerakyatan yang melibatkan,
menguatkan, dan mengembangkan Koperasi sebagaimana
amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik
Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
d. bahwa  Undang-Undang Nomor  25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian perlu diganti karena sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dan perkembangan
Perkoperasian;
                          e. bahwa . . .- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf  c, dan huruf d, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perkoperasian;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKOPERASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Koperasi adalah  badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau  badan hukum Koperasi, dengan
pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal
untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan
kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya
sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan Koperasi.
3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang perseorangan.
4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh
dan beranggotakan badan hukum Koperasi.
5. Rapat Anggota adalah perangkat organisasi Koperasi yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
                       6. Pengawas . . .- 3 -
6. Pengawas adalah perangkat organisasi Koperasi yang
bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada
Pengurus.
7. Pengurus adalah perangkat organisasi Koperasi yang
bertanggung jawab penuh atas  kepengurusan Koperasi
untuk kepentingan dan tujuan Koperasi, serta mewakili
Koperasi baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar.
8. Setoran Pokok adalah sejumlah uang, yang wajib dibayar
oleh seseorang atau  badan hukum Koperasi pada saat
yang bersangkutan mengajukan permohonan keanggotaan
pada suatu Koperasi.
9. Sertifikat Modal Koperasi adalah bukti penyertaan Anggota
Koperasi dalam modal Koperasi.
10. Hibah adalah pemberian uang  dan/atau barang  kepada
Koperasi dengan sukarela tanpa imbalan jasa, sebagai
modal usaha.
11. Modal Penyertaan adalah penyetoran modal pada Koperasi
berupa uang dan/atau barang yang dapat dinilai dengan
uang yang disetorkan oleh perorangan dan/atau  badan
hukum untuk menambah dan memperkuat permodalan
Koperasi guna meningkatkan kegiatan usahanya.
12. Selisih Hasil Usaha adalah Surplus Hasil Usaha atau
Defisit Hasil Usaha yang diperoleh dari hasil usaha atau
pendapatan Koperasi dalam satu tahun buku setelah
dikurangi dengan pengeluaran atas berbagai beban usaha.
13. Simpanan adalah sejumlah uang yang disimpan oleh
Anggota kepada Koperasi Simpan Pinjam, dengan
memperoleh jasa dari Koperasi Simpan Pinjam sesuai
perjanjian.
14. Pinjaman adalah penyediaan uang oleh Koperasi Simpan
Pinjam kepada Anggota sebagai peminjam berdasarkan
perjanjian, yang mewajibkan peminjam untuk melunasi
dalam jangka waktu tertentu dan membayar jasa.
15. Koperasi Simpan Pinjam adalah Koperasi yang
menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya
usaha.
16. Unit Simpan Pinjam adalah salah satu unit usaha
Koperasi non-Koperasi Simpan Pinjam yang dilaksanakan
secara konvensional atau syariah.
                         17. Gerakan . . .- 4 -
17. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi
dan kegiatan Perkoperasian yang bersifat terpadu menuju
tercapainya cita-cita dan tujuan Koperasi.
18. Dewan Koperasi Indonesia adalah organisasi yang
didirikan dari dan oleh Gerakan Koperasi untuk
memperjuangkan kepentingan dan menyalurkan aspirasi
Koperasi.
19. Hari adalah hari kalender.
20. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Koperasi.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Koperasi berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal 4
Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan
perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
BAB III
NILAI DAN PRINSIP
Pasal 5
(1) Nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu:
a. kekeluargaan;
b. menolong diri sendiri;
c. bertanggung jawab;
d. demokrasi;
                      e. persamaan . . .- 5 -
e. persamaan;
f. berkeadilan; dan
g. kemandirian.
(2) Nilai yang diyakini Anggota Koperasi yaitu:
a. kejujuran;
b. keterbukaan;
c. tanggung jawab; dan
d. kepedulian terhadap orang lain.
Pasal 6
(1) Koperasi melaksanakan Prinsip Koperasi yang meliputi:
a. keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka;
b. pengawasan oleh Anggota diselenggarakan secara
demokratis;
c. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi
Koperasi;
d. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang
otonom, dan independen;
e. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
bagi Anggota, Pengawas, Pengurus, dan karyawannya,
serta memberikan informasi kepada masyarakat
tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi;
f. Koperasi melayani anggotanya secara prima dan
memperkuat Gerakan Koperasi, dengan bekerja sama
melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional,
regional, dan internasional; dan
g. Koperasi bekerja untuk pembangunan berkelanjutan
bagi lingkungan dan masyarakatnya melalui kebijakan
yang disepakati oleh Anggota.
(2) Prinsip Koperasi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi sumber inspirasi dan menjiwai secara
keseluruhan organisasi dan kegiatan usaha Koperasi
sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya.
                               BAB IV . . .- 6 -
BAB IV
PENDIRIAN, ANGGARAN DASAR,
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, DAN PENGUMUMAN
Bagian Kesatu
Pendirian
Pasal 7
(1) Koperasi Primer didirikan oleh paling sedikit 20 (dua
puluh) orang perseorangan dengan memisahkan sebagian
kekayaan pendiri atau Anggota sebagai modal awal
Koperasi.
(2) Koperasi Sekunder didirikan oleh paling  sedikit 3 (tiga)
Koperasi Primer.
Pasal 8
(1) Koperasi mempunyai tempat kedudukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik  Indonesia yang ditentukan dalam
Anggaran Dasar.
(2) Wilayah keanggotaan Koperasi ditentukan dalam Anggaran
Dasar.
(3) Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekaligus merupakan kantor pusat Koperasi.
(4) Koperasi mempunyai alamat lengkap di tempat
kedudukannya.
(5) Dalam semua surat menyurat, pengumuman yang
diterbitkan oleh Koperasi, barang cetakan, dan akta dalam
hal Koperasi menjadi pihak harus disebutkan nama dan
alamat lengkap Koperasi.
Pasal 9
(1) Pendirian Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dilakukan dengan Akta Pendirian Koperasi yang dibuat
oleh Notaris dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat Notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Akta Pendirian
Koperasi dapat dibuat oleh Camat yang telah disahkan
sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi oleh Menteri.
                          (3) Notaris . . .- 7 -
(3) Notaris yang membuat Akta Pendirian Koperasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Notaris yang
terdaftar pada Kementerian yang menyelenggarakan
urusan Pemerintahan di bidang Koperasi.
Pasal 10
(1) Akta Pendirian Koperasi memuat Anggaran Dasar dan
keterangan yang berkaitan dengan pendirian Koperasi.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, tempat
tinggal, dan pekerjaan pendiri perseorangan atau
nama, tempat kedudukan, dan alamat lengkap, serta
nomor dan tanggal pengesahan badan hukum Koperasi
pendiri bagi Koperasi Sekunder; dan
b. susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
tempat tinggal, dan pekerjaan Pengawas dan Pengurus
yang pertama kali diangkat.
(3) Dalam pembuatan Akta Pendirian Koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),  seorang pendiri dapat diwakili
oleh pendiri lain berdasarkan surat kuasa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Permohonan  Akta Pendirian Koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh para
pendiri secara bersama-sama atau kuasanya kepada
Menteri untuk mendapatkan pengesahan sebagai  badan
hukum.
(5) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan
permohonan pengesahan Koperasi sebagai  badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 11
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak diterimanya permohonan, Menteri harus menolak
permohonan secara tertulis disertai alasannya.
                          Pasal 12 . . .- 8 -
Pasal 12
(1) Terhadap penolakan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, para pendiri atau kuasanya dapat
mengajukan permohonan ulang dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
penolakan.
(2) Keputusan terhadap pengajuan permohonan ulang
diberikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya pengajuan permohonan ulang.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan keputusan pertama dan terakhir.
Pasal 13
(1) Koperasi memperoleh pengesahan  sebagai  badan hukum
setelah Akta Pendirian Koperasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) disahkan oleh Menteri.
(2) Pengesahan Koperasi sebagai badan hukum  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan diterima.
(3) Dalam hal Menteri tidak melakukan pengesahan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Akta
Pendirian Koperasi dianggap sah.
Pasal 14
(1) Dalam hal setelah Koperasi disahkan,  Anggotanya
berkurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 maka dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam)
bulan terhitung sejak keadaan tersebut, Koperasi yang
bersangkutan wajib memenuhi jumlah minimal
keanggotaan.
(2) Setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Anggota Koperasi tetap kurang dari jumlah
minimal keanggotaan maka Anggota Koperasi bertanggung
jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian
yang terjadi dan Koperasi tersebut wajib dibubarkan oleh
Menteri.
                          Pasal 15 . . .- 9 -
Pasal 15
(1) Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh  Anggota,
Pengurus, dan/atau  Pengawas sebelum Koperasi
mendapat pengesahan menjadi  badan hukum dan
perbuatan hukum tersebut diterima oleh Koperasi,
Koperasi berkewajiban mengambil alih serta
mengukuhkan setiap perbuatan hukum tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak diterima, tidak diambil alih, atau tidak
dikukuhkan oleh Koperasi, masing-masing  Anggota,
Pengurus, dan/atau Pengawas bertanggung jawab secara
pribadi atas setiap akibat hukum yang ditimbulkan.
Bagian Kedua
Anggaran Dasar
Pasal 16
(1) Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. wilayah keanggotaan;
c. tujuan, kegiatan usaha, dan jenis Koperasi;
d. jangka waktu berdirinya Koperasi;
e. ketentuan mengenai modal Koperasi;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan
penggantian Pengawas dan Pengurus;
g. hak dan kewajiban Anggota, Pengawas, dan Pengurus;
h. ketentuan mengenai syarat keanggotaan;
i. ketentuan mengenai Rapat Anggota;
j. ketentuan mengenai penggunaan Selisih Hasil Usaha;
k. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
l. ketentuan mengenai pembubaran;
m. ketentuan mengenai sanksi; dan
n. ketentuan mengenai tanggungan Anggota.
(2) Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang memuat ketentuan tentang pemberian manfaat
pribadi kepada pendiri atau pihak lain.
                           Pasal 17 . . .- 10 -
Pasal 17
(1) Koperasi dilarang memakai nama yang:
a. telah dipakai secara sah oleh Koperasi lain dalam satu
kabupaten atau kota;
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau
kesusilaan; dan/atau
c. sama atau mirip dengan nama lembaga negara,
lembaga pemerintah, atau lembaga internasional,
kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan.
(2) Nama Koperasi Sekunder harus memuat kata ”Koperasi”
dan diakhiri dengan singkatan ”(Skd)”.
(3) Kata  “Koperasi” dilarang digunakan oleh badan usaha
yang didirikan tidak menurut ketentuan Undang-Undang
ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian
nama Koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Koperasi wajib mempunyai tujuan dan kegiatan  usaha
yang sesuai dengan jenis Koperasi dan harus dicantumkan
dalam Anggaran Dasar.
(2) Tujuan dan kegiatan Koperasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun  berdasarkan  kebutuhan ekonomi
Anggota dan jenis Koperasi  sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 19
(1) Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dapat diubah oleh Rapat Anggota apabila dihadiri
oleh paling  sedikit  2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah
Anggota Koperasi dan disetujui oleh  paling  sedikit 1/2
(satu perdua) bagian dari jumlah Anggota yang hadir.
(2) Usul perubahan Anggaran Dasar dilampirkan dalam surat
undangan kepada Anggota.
                     (3) Perubahan . . .- 11 -
(3) Perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan pada
saat Koperasi dinyatakan pailit berdasarkan  ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali atas persetujuan
pengadilan.
(4) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan Akta  Perubahan Anggaran
Dasar dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 20
(1) Perubahan Anggaran Dasar yang berkaitan dengan hal
tertentu harus mendapat persetujuan Menteri.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. nama;
b. tempat kedudukan;
c. wilayah keanggotaan;
d. tujuan;
e. kegiatan usaha; dan/atau
f. jangka waktu berdirinya Koperasi apabila Anggaran
Dasar menetapkan jangka waktu tertentu.
(3) Perubahan Anggaran Dasar selain yang berkaitan dengan
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup
diberitahukan kepada Menteri dalam jangka waktu paling
lambat  30 (tiga puluh) hari terhitung sejak  Akta
Perubahan Anggaran Dasar dibuat.
Pasal 21
(1) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal persetujuan
Menteri.
(2) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (3) berlaku sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan Akta Perubahan Anggaran Dasar tersebut
oleh Menteri.
                            Pasal 22 . . .- 12 -
Pasal 22
Permohonan persetujuan atas perubahan Anggaran Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditolak apabila:
a. bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara
perubahan Anggaran Dasar; dan/atau
b. isi perubahan Anggaran Dasar bertentangan dengan
ketentuan  peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.
Pasal 23
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan
persetujuan perubahan Anggaran Dasar dan penolakan atas
perubahan Anggaran Dasar dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 11 sampai
dengan Pasal 15.
Bagian Keempat
Pengumuman
Pasal 24
(1) Akta  Pendirian Koperasi dan  Akta Perubahan Anggaran
Dasar yang telah disahkan oleh Menteri,  harus
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri.
Pasal 25
(1) Menteri menyelenggarakan Daftar Umum Koperasi.
(2) Daftar Umum Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nama dan tempat kedudukan, kegiatan usaha, jangka
waktu pendirian, nama Pengawas dan  Pengurus,
jumlah Anggota;
b. alamat lengkap Koperasi;
c. nomor dan tanggal Akta Pendirian Koperasi serta
nomor dan tanggal surat pengesahan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
                          d. nomor . . .- 13 -
d. nomor dan tanggal Akta Perubahan Anggaran Dasar
dan surat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1);
e. nomor dan tanggal Akta Perubahan Anggaran Dasar
yang telah diberitahukan kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
f. nama dan tempat kedudukan Notaris atau Camat yang
membuat Akta  Pendirian Koperasi atau Akta
Perubahan Anggaran Dasar; dan
g. nomor dan tanggal Akta Pembubaran yang telah
diberitahukan kepada Menteri.
(3) Daftar Umum Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terbuka untuk umum.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 26
(1) Anggota Koperasi  merupakan pemilik dan sekaligus
pengguna jasa Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar Anggota.
(3) Keanggotaan Koperasi bersifat terbuka bagi semua yang
bisa dan mampu menggunakan jasa Koperasi dan bersedia
menerima tanggung jawab keanggotaan.
Pasal 27
(1) Anggota Koperasi Primer  merupakan orang perseorangan
yang mampu melakukan  perbuatan hukum, mempunyai
kesamaan kepentingan ekonomi, bersedia menggunakan
jasa Koperasi, dan memenuhi persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(2) Anggota Koperasi Sekunder  merupakan Koperasi yang
mempunyai kesamaan kepentingan ekonomi dan
memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 28
(1) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri
setelah persyaratan sebagaimana diatur dalam Anggaran
Dasar dipenuhi.
                     (2) Keanggotaan . . .- 14 -
(2) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindahtangankan.
Pasal 29
(1) Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26  ayat (1)
mempunyai kewajiban:
a. mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran  Rumah Tangga,
dan keputusan Rapat Anggota;
b. berpartisipasi  aktif  dalam kegiatan usaha yang
diselenggarakan oleh Koperasi; dan
c. mengembangkan dan memelihara nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
mempunyai hak:
a. menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan
suara dalam Rapat Anggota;
b. mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus
di luar Rapat Anggota baik diminta atau tidak;
c. memilih dan/atau dipilih menjadi Pengawas  atau
Pengurus;
d. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan
dalam Anggaran Dasar;
e. memanfaatkan jasa yang disediakan oleh Koperasi;
f. mendapat keterangan mengenai perkembangan
Koperasi sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran
Dasar; dan
g. mendapatkan Selisih Hasil Usaha Koperasi dan
kekayaan sisa hasil penyelesaian Koperasi.
Pasal 30
(1) Koperasi dapat menjatuhkan sanksi kepada Anggota yang
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1).
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  berupa:
a. teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali; dan/atau
b. pencabutan status keanggotaan.
(3) Ketentuan mengenai  tata cara  pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud  pada  ayat (2) diatur dalam
Anggaran Dasar.
                            BAB VI . . .- 15 -
BAB VI
PERANGKAT ORGANISASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
Koperasi mempunyai  perangkat  organisasi Koperasi yang
terdiri atas Rapat Anggota, Pengawas, dan Pengurus.
Bagian Kedua
Rapat Anggota
Pasal 32
Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam Koperasi.
Pasal 33
Rapat Anggota berwenang:
a. menetapkan kebijakan umum Koperasi;
b. mengubah Anggaran Dasar;
c. memilih, mengangkat, dan memberhentikan Pengawas dan
Pengurus;
d. menetapkan rencana kerja, rencana anggaran pendapatan
dan belanja Koperasi;
e. menetapkan batas maksimum  Pinjaman yang dapat
dilakukan oleh Pengurus untuk dan atas nama Koperasi;
f. meminta keterangan dan mengesahkan
pertanggungjawaban Pengawas dan Pengurus dalam
pelaksanaan tugas masing-masing;
g. menetapkan pembagian Selisih Hasil Usaha;
h. memutuskan penggabungan, peleburan, kepailitan, dan
pembubaran Koperasi; dan
i. menetapkan keputusan lain dalam batas yang ditentukan
oleh Undang-Undang ini.
Pasal 34
(1) Rapat Anggota diselenggarakan oleh Pengurus.
                            (2) Rapat . . .- 16 -
(2) Rapat Anggota dihadiri oleh Anggota,  Pengawas, dan
Pengurus.
(3) Kuorum Rapat Anggota diatur dalam Anggaran Dasar.
(4) Undangan kepada Anggota untuk menghadiri Rapat
Anggota dikirim oleh Pengurus  paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum Rapat Anggota diselenggarakan.
(5) Undangan dilakukan dengan surat yang  sekurangkurangnya  mencantumkan  hari,  tanggal, waktu, tempat,
dan acara Rapat Anggota, disertai pemberitahuan bahwa
bahan yang akan dibahas dalam Rapat Anggota tersedia di
kantor Koperasi.
Pasal 35
(1) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila tidak diperoleh keputusan melalui cara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam pemungutan suara setiap Anggota mempunyai satu
hak suara.
(4) Hak suara pada Koperasi Sekunder diatur dalam Anggaran
Dasar dengan mempertimbangkan jumlah Anggota.
Pasal 36
(1) Rapat Anggota diselenggarakan sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat Anggota untuk mengesahkan pertanggungjawaban
Pengurus diselenggarakan  paling lambat  5 (lima) bulan
setelah tahun buku Koperasi ditutup.
(3) Dalam hal Koperasi tidak menyelenggarakan Rapat
Anggota dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri dapat memerintahkan Koperasi untuk
menyelenggarakan Rapat Anggota melalui undangan
pemanggilan kedua.
(4) Undangan pemanggilan kedua dilakukan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum Rapat Anggota
diselenggarakan.
(5) Rapat Anggota kedua dapat dilangsungkan dan berhak
mengambil keputusan apabila dihadiri oleh sekurangkurangnya 1/5 (satu perlima) jumlah Anggota.
                 (6) Keputusan . . .- 17 -
(6) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(7) Apabila tidak diperoleh keputusan melalui cara
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak dari jumlah  Anggota yang
hadir.
Pasal 37
(1) Dalam Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (2) Pengurus wajib mengajukan  laporan
pertanggungjawaban tahunan yang berisi:
a. laporan mengenai keadaan dan jalannya Koperasi serta
hasil yang telah dicapai;
b. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang
mempengaruhi kegiatan Koperasi;
c. laporan keuangan yang sekurang-kurangnya terdiri
dari neraca akhir dan perhitungan hasil usaha tahun
buku yang bersangkutan serta penjelasan atas
dokumen tersebut;
d. laporan Pengawas;
e. nama Pengawas dan Pengurus; dan
f. besar imbalan bagi Pengawas serta gaji dan tunjangan
lain bagi Pengurus.
(2) Laporan keuangan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dapat dilaksanakan, Pengurus wajib memberikan
penjelasan dan alasannya.
(4) Laporan keuangan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditandatangani oleh Pengurus.
Pasal 38
(1) Laporan  pertanggungjawaban tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ditandatangani  oleh  semua
Pengurus.
(2) Apabila salah seorang Pengurus tidak menandatangani
laporan  pertanggungjawaban tahunan tersebut,  Pengurus
yang bersangkutan harus menjelaskan alasannya secara
tertulis.
                              Pasal 39 . . .- 18 -
Pasal 39
Persetujuan terhadap laporan  pertanggungjawaban  tahunan
merupakan penerimaan terhadap  pertanggungjawaban
Pengurus oleh Rapat Anggota.
Pasal 40
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf c harus diaudit oleh Akuntan Publik
apabila:
a. diminta oleh Menteri; atau
b. Rapat Anggota menghendakinya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dipenuhi, pengesahan laporan  pertanggungjawaban
tahunan oleh Rapat Anggota dinyatakan tidak sah.
Pasal 41
Rapat Anggota dianggap sah apabila  diselenggarakan sesuai
dengan persyaratan dan  tata cara Rapat Anggota yang
ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 42
(1) Selain Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36, dapat  diselenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa
apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera
yang wewenang pengambilannya ada pada Rapat Anggota.
(2) Penyelenggaraan Rapat Anggota Luar Biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas prakarsa Pengurus
atau atas permintaan  paling  sedikit  1/5 (satu perlima)
jumlah Anggota.
(3) Permintaan Anggota kepada Pengurus untuk
menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dengan
disertai alasan dan daftar tanda tangan Anggota.
(4) Rapat Anggota Luar Biasa yang diselenggarakan atas
permintaan Anggota hanya dapat membahas masalah
yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
                              (5) Rapat . . .- 19 -
(5) Rapat Anggota Luar Biasa mempunyai wewenang yang
sama dengan wewenang Rapat Anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal  33.
Pasal 43
(1) Rapat Anggota Luar Biasa yang diselenggarakan untuk
memutuskan penggabungan, peleburan, atau pembubaran
Koperasi dianggap sah apabila  sudah  mencapai  kuorum
yaitu  dihadiri oleh  paling  sedikit  3/4 (tiga  perempat)
jumlah Anggota.
(2) Keputusan Rapat Anggota Luar Biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap sah apabila  disetujui
oleh  paling  sedikit 2/3 (dua pertiga) jumlah suara yang
sah.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, Pengurus dapat menyelenggarakan Rapat
Anggota Luar Biasa kedua pada waktu paling cepat 14
(empat belas) hari dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
dihitung  dari tanggal rencana penyelenggaraan Rapat
Anggota Luar Biasa pertama yang gagal diselenggarakan.
(4) Ketentuan tentang kuorum dan  pengesahan keputusan
dalam Rapat Anggota Luar Biasa kedua sama dengan
ketentuan dalam Rapat Anggota Luar Biasa pertama
sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Dalam hal kuorum Rapat Anggota Luar Biasa kedua tidak
tercapai, atas permohonan Pengurus kuorum ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan.
Pasal 44
(1) Ketua Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Koperasi dapat memberikan izin kepada
Anggota Koperasi untuk:
a. melakukan pemanggilan Rapat Anggota, atas
permintaan paling  sedikit  1/5 (satu  perlima) dari
jumlah Anggota apabila Pengurus tidak
menyelenggarakan Rapat Anggota pada waktu yang
telah ditentukan; atau
                       b. melakukan . . .- 20 -
b. melakukan pemanggilan Rapat Anggota Luar Biasa,
atas permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42, apabila setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
permintaan dari Anggota, Pengurus tidak
menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa.
(2) Dalam hal Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa
diselenggarakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Ketua Pengadilan dapat memerintahkan Pengurus
dan/atau Pengawas untuk hadir.
(3) Apabila perintah Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dilaksanakan, Ketua Pengadilan dapat
memaksa Pengurus dan/atau Pengawas untuk hadir.
(4) Penetapan Ketua Pengadilan mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penetapan instansi pertama dan terakhir.
Pasal 45
(1) Koperasi Primer yang jumlah anggotanya  paling  sedikit
500 (lima ratus) orang  dapat menyelenggarakan Rapat
Anggota melalui delegasi Anggota.
(2) Ketentuan  mengenai Rapat  Anggota melalui delegasi
Anggota  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Anggaran Dasar.
Pasal 46
Setiap penyelenggaraan Rapat Anggota wajib dibuat Risalah
Rapat Anggota yang disertai tanda tangan pimpinan rapat dan
paling sedikit 1 (satu) orang Anggota yang ditunjuk oleh Rapat
Anggota.
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai  persyaratan, tata cara, dan
ketentuan lain mengenai penyelenggaraan Rapat Anggota dan
Rapat Anggota Luar Biasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 sampai dengan Pasal 46 diatur dalam Anggaran
Dasar.
                                   Bagian . . .- 21 -
Bagian Ketiga
Pengawas
Pasal 48
(1) Pengawas dipilih dari dan oleh Anggota  pada Rapat
Anggota.
(2) Persyaratan untuk dipilih menjadi Pengawas meliputi:
a. tidak pernah menjadi Pengawas atau Pengurus suatu
Koperasi atau komisaris atau direksi suatu
perusahaan yang dinyatakan bersalah karena
menyebabkan Koperasi atau perusahaan itu
dinyatakan pailit; dan
b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana yang merugikan korporasi, keuangan  negara,
dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan,
dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
(3) Persyaratan lain untuk dapat dipilih menjadi Pengawas
diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 49
(1) Untuk pertama kalinya susunan dan nama Pengawas
dicantumkan dalam Akta Pendirian Koperasi  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b.
(2) Susunan Pengawas dicantumkan dalam Anggaran Dasar.
(3) Jumlah imbalan bagi Pengawas ditetapkan dalam Rapat
Anggota.
(4) Pengawas diangkat untuk jangka waktu tertentu dan
dapat diangkat kembali.
(5) Pengawas dilarang merangkap sebagai Pengurus.
Pasal 50
(1) Pengawas bertugas:
a. mengusulkan calon Pengurus;
b. memberi nasihat dan pengawasan kepada Pengurus;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan dan pengelolaan Koperasi yang dilakukan
oleh Pengurus; dan
d. melaporkan hasil pengawasan kepada Rapat Anggota.
                    (2) Pengawas . . .- 22 -
(2) Pengawas berwenang:
a. menetapkan penerimaan dan penolakan Anggota baru
serta pemberhentian Anggota sesuai dengan ketentuan
dalam Anggaran Dasar;
b. meminta dan mendapatkan segala keterangan yang
diperlukan dari Pengurus dan pihak lain yang terkait;
c. mendapatkan laporan berkala tentang perkembangan
usaha dan kinerja Koperasi dari Pengurus;
d. memberikan persetujuan atau bantuan kepada
Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum
tertentu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; dan
e. dapat memberhentikan Pengurus untuk sementara
waktu dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 51
(1) Pengawas wajib menjalankan tugas dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan Koperasi.
(2) Pengawas bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya
kepada Rapat Anggota.
Pasal 52
(1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c, Pengawas dapat
meminta bantuan kepada Akuntan Publik untuk
melakukan jasa audit terhadap Koperasi.
(2) Penunjukan Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Rapat Anggota.
Pasal 53
(1) Pengawas dapat diberhentikan berdasarkan keputusan
Rapat Anggota dengan menyebutkan alasannya.
(2) Keputusan untuk memberhentikan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
ditetapkan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk membela diri dalam Rapat Anggota, kecuali yang
bersangkutan menerima keputusan pemberhentian
tersebut.
                        (3) Ketentuan . . .- 23 -
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab Pengawas atas
kesalahan dan  kelalaiannya yang diatur dalam UndangUndang ini tidak mengurangi ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 54
Ketentuan mengenai pengisian jabatan Pengawas yang kosong
atau dalam hal Pengawas diberhentikan atau berhalangan
tetap, diatur dalam Anggaran Dasar.
Bagian Keempat
Pengurus
Pasal 55
(1) Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota
maupun non-Anggota.
(2) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan:
a. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
b. memiliki kemampuan mengelola usaha Koperasi;
c. tidak pernah menjadi Pengawas atau Pengurus suatu
Koperasi atau komisaris atau direksi suatu
perusahaan yang dinyatakan bersalah karena
menyebabkan Koperasi atau perusahaan itu
dinyatakan pailit; dan
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana  yang merugikan korporasi, keuangan negara,
dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan,
dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
(3) Persyaratan lain untuk dapat dipilih menjadi Pengurus
diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 56
(1) Pengurus dipilih dan diangkat  pada Rapat Anggota atas
usul Pengawas.
                            (2) Untuk . . .- 24 -
(2) Untuk pertama kali pengangkatan Pengurus dilakukan
dengan mencantumkan susunan dan nama Pengurus
dalam Akta  Pendirian  Koperasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b.
(3) Pengurus diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan
kemungkinan diangkat kembali.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pencalonan, pemilihan,
pengangkatan, jangka waktu kepengurusan,
pemberhentian, dan penggantian Pengurus diatur dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 57
(1) Ketentuan mengenai susunan, pembagian tugas, dan
wewenang Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.
(2) Gaji dan tunjangan setiap Pengurus ditetapkan oleh Rapat
Anggota atas usul Pengawas.
Pasal 58
(1) Pengurus bertugas:
a. mengelola Koperasi berdasarkan Anggaran Dasar;
b. mendorong dan memajukan usaha Anggota;
c. menyusun rancangan rencana kerja serta rencana
anggaran pendapatan dan belanja Koperasi untuk
diajukan kepada Rapat Anggota;
d. menyusun laporan keuangan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas untuk diajukan kepada Rapat
Anggota;
e. menyusun rencana pendidikan, pelatihan, dan
komunikasi Koperasi untuk diajukan  kepada Rapat
Anggota;
f. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan
inventaris secara tertib;
g. menyelenggarakan pembinaan karyawan secara efektif
dan efisien;
                    h. memelihara . . .- 25 -
h. memelihara  Buku Daftar Anggota, Buku Daftar
Pengawas,  Buku Daftar Pengurus,  Buku Daftar
Pemegang Sertifikat Modal Koperasi, dan risalah Rapat
Anggota; dan
i. melakukan upaya lain bagi kepentingan, kemanfaatan,
dan kemajuan Koperasi sesuai dengan tanggung
jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
(2) Pengurus berwenang mewakili Koperasi di dalam maupun
di luar pengadilan.
Pasal 59
(1) Setiap Pengurus berwenang mewakili Koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58  ayat (2), kecuali
ditentukan lain dalam Anggaran Dasar.
(2) Pembatasan wewenang Pengurus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(3) Pengurus tidak berwenang mewakili Koperasi apabila:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Koperasi
dan Pengurus yang bersangkutan; atau
b. Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan
yang bertentangan dengan kepentingan Koperasi.
(4) Ketentuan mengenai siapa yang berhak mewakili Koperasi
dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 60
(1) Setiap Pengurus wajib menjalankan tugas dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan
usaha Koperasi.
(2) Pengurus bertanggung jawab atas kepengurusan Koperasi
untuk kepentingan dan pencapaian tujuan Koperasi
kepada Rapat Anggota.
(3) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi
apabila yang bersangkutan bersalah menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
                         (4) Pengurus . . .- 26 -
(4) Pengurus yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian pada Koperasi dapat digugat ke pengadilan oleh
sejumlah Anggota yang mewakili paling sedikit 1/5 (satu
perlima) Anggota atas nama Koperasi.
(5) Ketentuan mengenai tanggung jawab Pengurus atas
kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam UndangUndang ini tidak mengurangi ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 61
Pengurus wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
Rapat Anggota dalam hal Koperasi akan:
a. mengalihkan aset atau kekayaan Koperasi;
b. menjadikan jaminan utang atas  aset atau  kekayaan
Koperasi;
c. menerbitkan obligasi atau surat utang lainnya;
d. mendirikan atau menjadi Anggota Koperasi Sekunder;
dan/atau
e. memiliki dan mengelola perusahaan bukan Koperasi.
Pasal 62
(1) Pengurus dapat mengajukan permohonan ke pengadilan
niaga agar Koperasi dinyatakan pailit hanya apabila
diputuskan dalam Rapat Anggota.
(2) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau
kelalaian Pengurus yang dinyatakan berdasarkan
keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, Pengurus yang melakukan kesalahan dan kelalaian
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 63
(1) Pengurus dapat diberhentikan untuk sementara oleh
Pengawas dengan menyebutkan alasannya.
(2) Dalam  jangka  waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal pemberhentian sementara harus diadakan
Rapat Anggota.
                                   (3) Rapat . . .- 27 -
(3) Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
mencabut keputusan pemberhentian sementara tersebut
atau memberhentikan Pengurus yang bersangkutan.
(4) Apabila dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari tidak diadakan Rapat Anggota sebagaimana dimaksud
pada  ayat (2), pemberhentian sementara tersebut
dinyatakan batal.
Pasal 64
(1) Pengurus dapat diberhentikan berdasarkan keputusan
Rapat Anggota dengan menyebutkan alasannya.
(2) Keputusan untuk memberhentikan Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diambil setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri
dalam Rapat Anggota.
(3) Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengakibatkan kedudukan sebagai Pengurus
berakhir.
Pasal 65
Ketentuan mengenai pengisian sementara jabatan Pengurus
yang kosong atau dalam hal Pengurus diberhentikan untuk
sementara atau berhalangan tetap diatur dalam Anggaran
Dasar.
BAB VII
MODAL
Pasal 66
(1) Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat
Modal Koperasi sebagai modal awal.
(2) Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) modal
Koperasi dapat berasal dari:
a. Hibah;
b. Modal Penyertaan;
c. modal pinjaman yang berasal dari:
1.  Anggota;
2.  Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya;
3.  bank dan lembaga keuangan lainnya;
                    4. penerbitan . . .- 28 -
4.  penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
dan/atau
5.  Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 
dan/atau
d. sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan
Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 67
(1) Setoran Pokok dibayarkan oleh Anggota pada saat yang
bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota
dan tidak dapat dikembalikan.
(2) Setoran Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
telah disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penetapan
Setoran Pokok pada suatu Koperasi diatur dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 68
(1) Setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal
Koperasi yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
(2) Koperasi harus menerbitkan Sertifikat Modal Koperasi
dengan nilai nominal per lembar maksimum sama dengan
nilai Setoran Pokok.
(3) Pembelian Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah
minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tanda bukti penyertaan modal Anggota  di
Koperasi.
(4) Kepada setiap Anggota diberikan bukti penyetoran atas
Sertifikat Modal Koperasi yang telah disetornya.
Pasal 69
(1) Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara.
(2) Sertifikat Modal Koperasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikeluarkan atas nama.
(3) Nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi harus
dicantumkan dalam mata uang Republik Indonesia.
                    (4) Penyetoran . . .- 29 -
(4) Penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dapat dilakukan
dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya yang
dapat dinilai dengan uang.
(5) Dalam hal penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi
dalam bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan penilaian untuk memperoleh nilai pasar
wajar.
(6) Koperasi wajib memelihara daftar pemegang Sertifikat
Modal Koperasi dan  daftar pemegang  Modal Penyertaan
yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan alamat pemegang Sertifikat Modal Koperasi
dan pemegang Modal Penyertaan;
b. jumlah lembar, nomor, dan tanggal perolehan
Sertifikat Modal Koperasi dan Modal Penyertaan;
c. jumlah dan nilai Sertifikat Modal Koperasi dan nilai
Modal Penyertaan; dan
d. perubahan kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi.
Pasal 70
(1) Pemindahan Sertifikat Modal Koperasi kepada Anggota
yang lain tidak boleh menyimpang dari ketentuan tentang
kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi dalam  jumlah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68.
(2) Pemindahan Sertifikat Modal Koperasi oleh seorang
Anggota dianggap sah jika:
a.  Sertifikat Modal Koperasi telah dimiliki paling singkat
selama 1 (satu) tahun;
b.  pemindahan dilakukan kepada Anggota lain dari
Koperasi yang bersangkutan;
c.  pemindahan dilaporkan kepada Pengurus; dan/atau
d.  belum ada Anggota lain atau Anggota baru yang
bersedia membeli Sertifikat Modal Koperasi untuk
sementara Koperasi dapat membeli lebih dahulu
dengan menggunakan Surplus Hasil Usaha tahun
berjalan sebagai dana talangan dengan jumlah paling
banyak 20% (dua puluh persen) dari Surplus Hasil
Usaha tahun buku tersebut.
                               (3) Dalam . . .- 30 -
(3) Dalam hal keanggotaan diakhiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), Anggota yang bersangkutan wajib
menjual Sertifikat Modal Koperasi yang dimilikinya kepada
Anggota lain dari Koperasi yang bersangkutan
berdasarkan harga Sertifikat Modal  Koperasi  yang
ditentukan Rapat Anggota.
Pasal 71
Perubahan nilai Sertifikat Modal Koperasi mengikuti standar
akuntansi keuangan yang berlaku dan ditetapkan dalam Rapat
Anggota.
Pasal 72
(1) Sertifikat Modal Koperasi dari seorang Anggota yang
meninggal dapat dipindahkan kepada ahli waris yang
memenuhi syarat dan/atau bersedia menjadi Anggota.
(2) Dalam hal ahli waris tidak memenuhi syarat dan/atau
tidak bersedia menjadi Anggota, Sertifikat Modal Koperasi
dapat dipindahkan kepada Anggota lain oleh Pengurus dan
hasilnya diserahkan kepada ahli waris yang bersangkutan.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjualan dan
pemindahan Sertifikat Modal Koperasi  sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 diatur dalam Anggaran
Dasar.
Pasal 74
(1) Hibah yang diberikan oleh pihak ketiga yang berasal dari
sumber modal asing, baik langsung maupun tidak
langsung, dapat diterima oleh suatu Koperasi dan
dilaporkan kepada Menteri.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada
Anggota, Pengurus, dan Pengawas.
(3) Ketentuan mengenai  Hibah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
                              Pasal 75 . . .- 31 -
Pasal 75
(1) Koperasi dapat menerima Modal Penyertaan dari:
a. Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
b. masyarakat berdasarkan perjanjian penempatan Modal
Penyertaan.
(2) Pemerintah dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib turut menanggung risiko dan
bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai
dengan Modal Penyertaan  sebatas nilai Modal Penyertaan
yang ditanamkan dalam Koperasi.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
juga dalam hal Pemerintah dan/atau masyarakat turut
serta dalam pengelolaan usaha yang dibiayai dengan
Modal Penyertaan dan/atau turut menyebabkan terjadinya
kerugian usaha yang dibiayai dengan Modal Penyertaan.
(4) Pemerintah dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berhak mendapat bagian keuntungan yang
diperoleh dari usaha yang dibiayai dengan  Modal
Penyertaan.
Pasal 76
Perjanjian  penempatan Modal  Penyertaan  dari masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal  75 ayat (1) huruf b
sekurang-kurangnya memuat:
a. besarnya Modal Penyertaan;
b. risiko dan tanggung jawab terhadap kerugian usaha;
c. pengelolaan usaha; dan
d. hasil usaha.
Pasal 77
Ketentuan lebih lanjut mengenai modal Koperasi  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 76 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
                               BAB VIII . . .- 32 -
BAB VIII
SELISIH HASIL USAHA DAN DANA CADANGAN
Bagian Kesatu
Surplus Hasil Usaha
Pasal 78
(1) Mengacu pada ketentuan Anggaran Dasar dan keputusan
Rapat Anggota, Surplus Hasil Usaha disisihkan terlebih
dahulu untuk  Dana  Cadangan dan sisanya digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk:
a. Anggota sebanding dengan transaksi usaha yang
dilakukan oleh masing-masing Anggota dengan
Koperasi;
b. Anggota sebanding dengan  Sertifikat Modal  Koperasi
yang dimiliki;
c. pembayaran bonus kepada Pengawas, Pengurus, dan
karyawan Koperasi;
d. pembayaran kewajiban kepada dana pembangunan
Koperasi dan kewajiban lainnya; dan/atau
e. penggunaan lain yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar.
(2) Koperasi dilarang membagikan kepada  Anggota Surplus
Hasil  Usaha yang berasal dari transaksi dengan  nonAnggota.
(3) Surplus Hasil Usaha yang berasal dari  non-Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan
untuk mengembangkan usaha Koperasi dan
meningkatkan pelayanan kepada Anggota.
Bagian Kedua
Defisit Hasil Usaha
Pasal 79
(1) Dalam  hal terdapat Defisit Hasil Usaha, Koperasi dapat
menggunakan Dana Cadangan.
(2) Penggunaan Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan Rapat Anggota.
                            (3) Dalam . . .- 33 -
(3) Dalam hal  Dana Cadangan yang ada tidak cukup untuk
menutup Defisit Hasil Usaha, defisit tersebut
diakumulasikan dan  dibebankan pada  anggaran
pendapatan dan belanja Koperasi pada tahun berikutnya.
Pasal 80
Dalam hal terdapat Defisit Hasil Usaha pada Koperasi Simpan
Pinjam, Anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal
Koperasi.
Bagian Ketiga
Dana Cadangan
Pasal 81
(1) Dana  Cadangan dikumpulkan dari penyisihan sebagian
Selisih Hasil Usaha.
(2) Koperasi harus menyisihkan  Surplus Hasil Usaha  untuk
Dana Cadangan sehingga menjadi paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari nilai Sertifikat Modal Koperasi.
(3) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
belum mencapai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hanya dapat dipergunakan untuk menutup kerugian
Koperasi.
BAB IX
JENIS, TINGKATAN, DAN USAHA
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 82
(1) Setiap Koperasi mencantumkan jenis Koperasi dalam
Anggaran Dasar.
(2) Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/atau
kepentingan ekonomi Anggota.
                                Pasal 83 . . .- 34 -
Pasal 83
Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 82 terdiri
dari:
a. Koperasi konsumen;
b. Koperasi produsen;
c. Koperasi jasa; dan
d. Koperasi Simpan Pinjam.
Pasal 84
(1) Koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan
Anggota dan non-Anggota.
(2) Koperasi  produsen  menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan
pemasaran produksi yang dihasilkan Anggota kepada
Anggota dan non-Anggota.
(3) Koperasi jasa menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan jasa  non-simpan pinjam yang  diperlukan oleh
Anggota dan non-Anggota.
(4) Koperasi Simpan Pinjam menjalankan usaha simpan
pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani
Anggota.
Pasal 85
Ketentuan mengenai tata cara pengembangan jenis Koperasi
sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 82 sampai dengan Pasal
84 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Tingkatan
Pasal 86
(1) Untuk meningkatkan usaha Anggota dan menyatukan
potensi usaha, Koperasi dapat membentuk dan/atau
menjadi Anggota Koperasi Sekunder.
(2) Tingkatan dan penggunaan nama pada Koperasi Sekunder
diatur oleh Koperasi yang bersangkutan.
                               Bagian . . .- 35 -
Bagian Ketiga
Usaha
Pasal 87
(1) Koperasi menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan
langsung  dan sesuai dengan jenis Koperasi yang
dicantumkan dalam Anggaran Dasar.
(2) Koperasi dapat melakukan kemitraan dengan pelaku
usaha lain dalam menjalankan usahanya.
(3) Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip
ekonomi syariah.
(4) Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip
ekonomi syariah  sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KOPERASI SIMPAN PINJAM
Pasal 88
(1) Koperasi Simpan Pinjam harus memperoleh  izin usaha
simpan pinjam  dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin usaha simpan pinjam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi Simpan
Pinjam harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 89
Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud dalam  Pasal
88 ayat (1) meliputi kegiatan:
a. menghimpun dana dari Anggota;
b. memberikan Pinjaman kepada Anggota; dan
c. menempatkan dana pada  Koperasi Simpan Pinjam
sekundernya.
Pasal 90
(1) Untuk meningkatkan pelayanan kepada Anggota, Koperasi
Simpan Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan
simpan pinjam.
                           (2) Jaringan . . .- 36 -
(2) Jaringan pelayanan simpan pinjam dapat terdiri atas:
a. Kantor Cabang;
b. Kantor Cabang Pembantu; dan
c. Kantor Kas.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang  Pembantu,
dan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 91
(1) Untuk meningkatkan usaha Anggota dan menyatukan
potensi usaha serta mengembangkan kerjasama antarKoperasi Simpan Pinjam, Koperasi Simpan Pinjam dapat
mendirikan atau menjadi Anggota Koperasi Simpan Pinjam
Sekunder.
(2) Koperasi Simpan Pinjam Sekunder sebagaimana dimaksud
pada  ayat (1) dapat menyelenggarakan kegiatan:
a. simpan pinjam antar-Koperasi Simpan Pinjam yang
menjadi anggotanya;
b. manajemen risiko;
c. konsultasi manajemen usaha simpan pinjam;
d. pendidikan dan pelatihan di bidang usaha simpan
pinjam;
e. standardisasi sistem akuntansi dan pemeriksaan
untuk anggotanya;
f. pengadaan sarana usaha untuk anggotanya; dan/atau
g. pemberian bimbingan dan konsultasi.
(3) Koperasi Simpan Pinjam Sekunder sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilarang  memberikan  Pinjaman kepada
Anggota perseorangan.
Pasal 92
(1) Pengelolaan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam dilakukan
oleh Pengurus  atau pengelola profesional berdasarkan
standar kompetensi.
(2) Pengawas dan Pengurus Koperasi Simpan Pinjam harus
memenuhi persyaratan standar kompetensi yang diatur
dalam Peraturan Menteri.
                        (3) Pengawas . . .- 37 -
(3) Pengawas dan Pengurus Koperasi Simpan Pinjam dilarang
merangkap sebagai Pengawas,  Pengurus, atau pengelola
Koperasi Simpan Pinjam lainnya.
Pasal 93
(1) Koperasi Simpan Pinjam wajib menerapkan prinsip kehatihatian.
(2) Dalam memberikan  Pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan peminjam untuk melunasi  Pinjaman sesuai
dengan perjanjian.
(3) Dalam memberikan  Pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam 
wajib menempuh cara yang tidak merugikan Koperasi
Simpan Pinjam dan kepentingan penyimpan.
(4) Koperasi Simpan Pinjam wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
terhadap penyimpan.
(5) Koperasi Simpan Pinjam dilarang melakukan investasi
usaha pada sektor riil.
(6) Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari
Anggota  harus menyalurkan kembali dalam bentuk
Pinjaman kepada Anggota.
Pasal 94
(1) Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin  Simpanan
Anggota.
(2) Pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin
Simpanan Koperasi Simpan Pinjam untuk menjamin
Simpanan Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan program
penjaminan  Simpanan bagi Anggota Koperasi Simpan
Pinjam.
(4) Koperasi Simpan Pinjam yang memenuhi persyaratan
dapat mengikuti program penjaminan  Simpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan
Koperasi Simpan Pinjam diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
                               Pasal 95 . . .- 38 -
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai Koperasi Simpan Pinjam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 sampai dengan Pasal
93 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 96
(1) Pengawasan terhadap Koperasi wajib dilakukan untuk
meningkatkan kepercayaan para pihak terhadap Koperasi.
(2) Pengawasan terhadap Koperasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
Pasal 97
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 96
dilakukan melalui pelaporan, pemantauan, dan evaluasi
terhadap Koperasi.
(2) Kegiatan pengawasan melalui pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. meneliti laporan  pertanggungjawaban  tahunan,
dokumen-dokumen, dan keputusan-keputusan Rapat
Anggota;
b. meminta untuk hadir dalam Rapat Anggota; dan/atau
c. memanggil Pengurus untuk  diminta keterangan
mengenai perkembangan Koperasi.
(3) Kegiatan pengawasan melalui pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa laporan.
(4) Apabila dari hasil pemantauan dan evaluasi terbukti
terjadi penyimpangan, Menteri wajib mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
                               Bagian . . .- 39 -
Bagian Kedua
Pemeriksaan
Pasal 98
(1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap Koperasi, dalam
hal:
a. Koperasi membatasi keanggotaan atau menolak
permohonan untuk menjadi Anggota atas orang
perseorangan yang telah memenuhi persyaratan
keanggotaan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran
Dasar;
b. Koperasi tidak melaksanakan Rapat Anggota Tahunan
dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut;
c. kelangsungan usaha  Koperasi sudah tidak dapat
diharapkan; dan/atau
d. terdapat dugaan kuat bahwa Koperasi yang
bersangkutan tidak mengelola administrasi keuangan
secara benar.
(2) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)  huruf d  Menteri dapat menunjuk Akuntan
Publik.
(3) Biaya yang timbul sehubungan dengan kegiatan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan pada  Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara  sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Menteri menyampaikan salinan laporan pemeriksaan
kepada Koperasi yang bersangkutan dan kepada pihak
yang berkepentingan.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan pemeriksaan
Koperasi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 96 sampai
dengan Pasal 98 diatur dalam Peraturan Menteri.
                                   Bagian . . .- 40 -
Bagian Ketiga
Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam
Pasal 100
(1) Pengawasan  Koperasi Simpan Pinjam dilakukan oleh
Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam.
(2) Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam
bertanggung jawab kepada Menteri.
(3) Pembentukan  Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan
Pinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Lembaga  Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)  harus  dibentuk
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
BAB XII
PENGGABUNGAN  DAN PELEBURAN
Pasal 101
(1) Untuk keperluan pengembangan dan/atau efisiensi:
a. satu Koperasi atau lebih dapat menggabungkan diri
dengan Koperasi lain; atau
b. beberapa Koperasi dapat meleburkan diri untuk
membentuk suatu Koperasi baru.
(2) Penggabungan atau peleburan dilakukan dengan
persetujuan Rapat Anggota masing-masing Koperasi.
(3) Sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan,
Pengawas dan Pengurus masing-masing Koperasi wajib
memperhatikan:
a. kepentingan Anggota;
b. kepentingan karyawan;
c. kepentingan kreditor; dan
d. pihak ketiga lainnya.
                             (4) Akibat . . .- 41 -
(4) Akibat hukum yang ditimbulkan oleh penggabungan atau
peleburan meliputi:
a. hak dan kewajiban Koperasi yang digabungkan atau
dilebur beralih kepada Koperasi hasil penggabungan
atau peleburan; dan
b. Anggota Koperasi yang digabung atau dilebur menjadi
Anggota Koperasi hasil penggabungan atau peleburan.
(5) Koperasi yang menggabungkan diri pada Koperasi lain
atau yang melebur diri, secara hukum bubar.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau
peleburan Koperasi diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XIII
PEMBUBARAN, PENYELESAIAN, DAN
HAPUSNYA STATUS BADAN HUKUM
Bagian Kesatu
Pembubaran
Pasal 102
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan:
a. keputusan Rapat Anggota;
b. jangka waktu berdirinya telah berakhir; dan/atau
c. Keputusan Menteri.
Pasal 103
(1) Usul pembubaran Koperasi diajukan  kepada Rapat
Anggota oleh Pengawas atau Anggota yang mewakili paling
sedikit 1/5 (satu perlima) jumlah Anggota.
(2) Keputusan pembubaran Koperasi ditetapkan oleh Rapat
Anggota.
(3) Keputusan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sah apabila diambil berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
(4) Pengurus bertindak sebagai kuasa Rapat Anggota
pembubaran Koperasi apabila Rapat Anggota tidak
menunjuk pihak yang lain.
(5) Koperasi dinyatakan bubar pada saat ditetapkan dalam
keputusan Rapat Anggota.
                  (6) Keputusan . . .- 42 -
(6) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Rapat Anggota
diberitahukan secara tertulis oleh kuasa Rapat Anggota
kepada Menteri dan semua Kreditor.
(7) Pembubaran Koperasi dicatat dalam Daftar Umum
Koperasi.
Pasal 104
(1) Koperasi bubar karena jangka waktu berdirinya
sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar telah
berakhir.
(2) Menteri dapat memperpanjang jangka waktu berdirinya
Koperasi atas permohonan Pengurus setelah diputuskan
pada Rapat Anggota.
(3) Permohonan perpanjangan jangka waktu berdirinya
Koperasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2)
diajukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari  sebelum jangka waktu berdirinya Koperasi
berakhir.
(4) Keputusan Menteri atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan  dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
diterima.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak dipenuhi, keputusan Rapat Anggota
mengenai perpanjangan jangka waktu berdirinya Koperasi
dianggap sah.
Pasal 105
Menteri dapat membubarkan Koperasi apabila:
a. Koperasi dinyatakan pailit berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
dan/atau
b. Koperasi tidak dapat menjalankan kegiatan organisasi dan
usahanya selama 2 (dua) tahun berturut-turut.
                              Bagian . . .- 43 -
Bagian Kedua
Penyelesaian
Pasal 106
(1) Untuk penyelesaian terhadap pembubaran Koperasi harus
dibentuk Tim Penyelesai.
(2) Tim Penyelesai untuk penyelesaian terhadap pembubaran
berdasarkan  Rapat Anggota dan berakhir jangka waktu
berdirinya ditunjuk oleh kuasa Rapat Anggota.
(3) Tim Penyelesai untuk penyelesaian terhadap pembubaran
berdasarkan keputusan Pemerintah ditunjuk oleh Menteri.
(4) Selama dalam proses Penyelesaian terhadap pembubaran,
Koperasi tersebut tetap ada dengan status ”Koperasi dalam
Penyelesaian”.
(5) Selama dalam proses Penyelesaian terhadap pembubaran,
Koperasi tidak diperbolehkan melakukan perbuatan
hukum, kecuali untuk memperlancar proses Penyelesaian.
Pasal 107
Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi tetapi Koperasi tidak
mampu melaksanakan kewajiban yang harus dibayar, Anggota
hanya menanggung sebatas Setoran  Pokok, Sertifikat Modal
Koperasi, dan/atau Modal Penyertaan yang dimiliki.
Pasal 108
Tim Penyelesai mempunyai tugas dan fungsi:
a. melakukan pencatatan dan penyusunan informasi tentang
kekayaan dan kewajiban Koperasi;
b. memanggil Pengawas, Pengurus, karyawan, Anggota, dan
pihak lain yang diperlukan, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama;
c. menyelesaikan hak dan kewajiban keuangan terhadap
pihak ketiga;
d. membagikan sisa hasil penyelesaian kepada Anggota;
e. melaksanakan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam
penyelesaian kekayaan;
f. membuat berita acara penyelesaian dan laporan kepada
Menteri; dan/atau
                 g. mengajukan . . .- 44 -
g. mengajukan permohonan untuk diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pasal 109
Tim  penyelesai  sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 106 ayat
(2) dan ayat (3) dapat diganti apabila tidak melaksanakan tugas
dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108.
Bagian Ketiga
Penghapusan Status Badan Hukum
Pasal 110
Status badan hukum Koperasi hapus sejak tanggal
pengumuman pembubaran Koperasi dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Bagian Keempat
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 111
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pembubaran, penyelesaian, dan hapusnya status badan
hukum Koperasi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 102
sampai dengan Pasal 110 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 112
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menetapkan
kebijakan yang mendorong Koperasi  agar  dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik.
                             (2) Dalam . . .- 45 -
(2) Dalam menetapkan kebijakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menempuh langkah untuk mendukung pertumbuhan,
perkembangan, dan pemberdayaan Koperasi bagi
kepentingan Anggota.
(3) Langkah sebagaimana dimaksud  pada  ayat (2) dilakukan
dengan memberikan bimbingan dan kemudahan dalam
bentuk:
a. pengembangan kelembagaan dan bantuan
pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian
Koperasi;
b. bimbingan usaha Koperasi yang sesuai dengan
kepentingan ekonomi Anggota;
c. memperkukuh permodalan dan pembiayaan Koperasi;
d. bantuan pengembangan jaringan usaha Koperasi dan
kerja sama  yang saling menguntungkan  antara
Koperasi dan badan usaha lain;
e. bantuan konsultasi dan fasilitasi guna memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dengan
tetap memperhatikan Anggaran  Dasar Koperasi;
dan/atau
f. insentif pajak  dan fiskal  sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
(1) Dalam rangka pemberian perlindungan kepada Koperasi,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
memprioritaskan bidang kegiatan ekonomi yang hanya
boleh diusahakan oleh Koperasi.
(2) Ketentuan mengenai  peran  Pemerintah dan Pemerintah
Daerah serta persyaratan dan tata cara pemberian
perlindungan kepada Koperasi diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 114
(1) Menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian
pemberdayaan Koperasi.
                     (2) Koordinasi . . .- 46 -
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
koordinasi kebijakan, integrasi perencanaan,  dan
sinkronisasi program pemberdayaan Koperasi.
(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengawasan, monitoring, dan evaluasi.
Bagian Kedua
Gerakan Koperasi
Pasal 115
(1) Gerakan Koperasi mendirikan suatu dewan  Koperasi
Indonesia yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi Koperasi, dalam rangka pemberdayaan
Koperasi.
(2) Nama, tujuan, keanggotaan, susunan organisasi, dan tata
kerja dewan  Koperasi Indonesia  diatur dalam Anggaran
Dasar.
(3) Anggaran Dasar dewan Koperasi Indonesia disahkan oleh
Pemerintah.
Pasal 116
Dewan Koperasi Indonesia menjunjung tinggi nilai dan prinsip
Koperasi yang bertugas:
a. memperjuangkan kepentingan dan menyalurkan aspirasi
Koperasi;
b. melakukan supervisi dan advokasi dalam penerapan nilainilai dan prinsip Koperasi;
c. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan
masyarakat;
d. menyelenggarakan  sosialisasi dan konsultasi kepada
Koperasi;
e. mengembangkan dan mendorong kerjasama antarKoperasi dan antara Koperasi dengan badan usaha lain,
baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun
internasional;
f. mewakili dan bertindak sebagai juru bicara Gerakan
Koperasi;
         g. menyelenggarakan . . .- 47 -
g. menyelenggarakan komunikasi, forum, dan jaringan kerja
sama di bidang Perkoperasian; dan
h. memajukan organisasi anggotanya.
Pasal 117
Biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan  dewan
Koperasi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
berasal dari:
a. iuran wajib Anggota;
b. sumbangan dan bantuan yang tidak mengikat;
c. Hibah; dan/atau
d. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran
Dasar dan/atau peraturan perundang-undangan.
Pasal 118
(1) Pemerintah menyediakan anggaran bagi kegiatan dewan
Koperasi Indonesia yang bersumber dari  Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau  Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 
(2) Dewan Koperasi Indonesia bertanggung jawab penuh atas
penggunaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Pengelolaan anggaran  dewan Koperasi Indonesia
dilaksanakan berdasar prinsip kehati-hatian,
transparansi, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Pasal 119
(1) Untuk mendorong pengembangan dewan  Koperasi
Indonesia, dibentuk dana pembangunan dewan Koperasi
Indonesia.
(2) Dana pembangunan dewan Koperasi Indonesia bersumber
dari Anggota dewan  Koperasi Indonesia dan pihak-pihak
lain yang sah dan tidak mengikat.
                               (3) Dana . . .- 48 -
(3) Dana pembangunan dewan Koperasi Indonesia harus
diaudit oleh akuntan publik.
(4) Ketentuan mengenai dana pembangunan dewan Koperasi
Indonesia diatur dalam Anggaran Dasar dewan Koperasi
Indonesia.
BAB XV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 120
(1) Menteri dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap:
a. Koperasi yang melanggar larangan pemuatan
ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada
pendiri atau pihak lain dalam Anggaran Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
b. Koperasi yang tidak melaksanakan Rapat Anggota
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
setelah 2 (dua) tahun buku terlampaui;
c. Koperasi yang tidak melakukan audit atas laporan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40;
d. Pengawas yang merangkap sebagai Pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5);
e. Koperasi yang tidak menyelenggarakan pembukuan
keuangan dan inventaris secara tertib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf f;
f. Pengurus yang tidak memelihara  Buku Daftar
Anggota,  Buku Daftar Pengawas,  Buku Daftar
Pengurus,  Buku  Daftar  Pemegang Sertifikat Modal
Koperasi, dan risalah Rapat Anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf h;
g. Pengurus yang  tidak  terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Rapat Anggota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61;
h. Koperasi Simpan Pinjam Sekunder yang memberikan
Pinjaman kepada Anggota perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3);
i. Pengawas . . .- 49 -
i. Pengawas  atau  Pengurus  Koperasi Simpan Pinjam
yang  merangkap sebagai Pengawas, Pengurus, atau
pengelola Koperasi Simpan Pinjam lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3);
dan/atau
j. Koperasi Simpan Pinjam yang melakukan investasi
usaha pada sektor riil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (5).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. teguran tertulis sekurang-kurangnya 2 (dua) kali;
b. larangan untuk menjalankan fungsi sebagai Pengurus
atau Pengawas Koperasi;
c. pencabutan izin usaha; dan/atau
d. pembubaran oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Koperasi yang telah didirikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan diakui sebagai Koperasi
berdasarkan Undang-Undang ini;
b. Koperasi sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
melakukan penyesuaian Anggaran Dasarnya paling lambat
3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini;
c. Koperasi yang tidak melakukan penyesuaian Anggaran
Dasar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf b  ditindak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
                          d. Akta . . .- 50 -
d. Akta  Pendirian  Koperasi yang belum disahkan atau
perubahan Anggaran Dasar Koperasi yang belum disetujui
oleh Menteri, proses pengesahan dan persetujuannya
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 122
(1) Koperasi yang mempunyai  Unit Simpan Pinjam wajib
mengubah Unit Simpan Pinjam menjadi Koperasi Simpan
Pinjam dalam waktu paling lambat  3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini disahkan
(2) Dalam jangka waktu perubahan menjadi Koperasi Simpan
Pinjam sebagaimana dimaksud ayat (1) Unit Simpan
Pinjam dilarang menerima  Simpanan dan/atau
memberikan Pinjaman baru kepada non-Anggota.
(3) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
mengubah Unit Simpan Pinjam menjadi Koperasi Simpan
Pinjam dilarang melakukan kegiatan simpan pinjam.
(4) Tata cara perubahan  Unit  Simpan  Pinjam Koperasi
menjadi Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan  Pinjam yang
telah memberikan  Pinjaman kepada non-Anggota wajib
mendaftarkan non-Anggota tersebut menjadi Anggota
Koperasi paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
Undang-Undang ini
(2) Jika non-Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak bersedia menjadi Anggota  Koperasi yang
bersangkutan, non-Anggota tersebut tidak berhak
memanfaatkan jasa simpan pinjam dari Koperasi yang
bersangkutan.
                                  (3) Bagi . . .- 51 -
(3) Bagi non-Anggota yang sudah terikat dengan perjanjian
simpan pinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyelesaian perjanjian simpan pinjam dilaksanakan
sesuai dengan perjanjian antara non-Anggota dengan
Koperasi yang bersangkutan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang  Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3502) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3502) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Terhadap Koperasi berlaku Undang-Undang ini, Anggaran
Dasar Koperasi, dan Peraturan Perundang-Undangan
lainnya.
Pasal 125
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan UndangUndang ini ditetapkan paling lambat  2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 126
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
                                 Agar . . .- 52 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                   ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
             REPUBLIK INDONESIA,
                            ttd
               AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 212
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
                            ttd
  Lydia Silvanna DjamanPENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR       TAHUN      
TENTANG
PERKOPERASIAN
I. UMUM
Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ketentuan tersebut sesuai
dengan prinsip Koperasi, karena itu  Koperasi mendapat misi untuk
berperan nyata dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran
masyarakat bukan kemakmuran orang-seorang.
Dalam rangka mewujudkan misinya, Koperasi tak henti-hentinya berusaha
mengembangkan dan memberdayakan diri agar tumbuh menjadi kuat dan
mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan Anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Di samping itu, Koperasi
berusaha berperan nyata mengembangkan dan memberdayakan tata
ekonomi nasional yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi
ekonomi dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur.
Untuk mencapai hal tersebut, keseluruhan kegiatan Koperasi harus
diselenggarakan berdasarkan nilai yang terkandung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta nilai dan prinsip
Koperasi.
Pembangunan Koperasi telah diselenggarakan sejak beberapa dekade yang
lalu. Ditinjau dari segi kuantitas, hasil pembangunan tersebut sungguh
membanggakan ditandai dengan jumlah Koperasi di Indonesia yang
meningkat pesat. Namun, jika ditinjau dari segi kualitas, masih perlu
diperbaiki sehingga mencapai kondisi yang diharapkan. Sebagian Koperasi
belum berperan secara signifikan kontribusinya terhadap perekonomian
nasional. Pembangunan Koperasi seharusnya diarahkan pada penguatan
kelembagaan dan usaha agar Koperasi menjadi sehat, kuat, mandiri,
tangguh, dan berkembang melalui peningkatan kerjasama, potensi, dan
kemampuan ekonomi Anggota, serta peran dalam perekonomian nasional
dan global.
                               Banyak . . .- 2 -
Banyak faktor yang menghambat kemajuan Koperasi. Hal tersebut
berakibat pada pengembangan dan pemberdayaan Koperasi sulit untuk
mewujudkan Koperasi yang kuat dan mandiri yang mampu
mengembangkan dan meningkatkan kerja sama, potensi, dan kemampuan
ekonomi Anggota dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya. Salah satu faktor penghambat tersebut adalah peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian ternyata sudah tidak memadai untuk digunakan sebagai
instrumen pembangunan Koperasi. Sebagai suatu sistem, ketentuan di
dalam Undang-Undang tersebut kurang memadai lagi untuk dijadikan
landasan hukum bagi pengembangan dan pemberdayaan Koperasi, terlebih
tatkala dihadapkan kepada perkembangan tata ekonomi nasional dan global
yang semakin dinamis dan penuh tantangan. Hal tersebut dapat dilihat
dalam ketentuan yang mengatur nilai dan prinsip Koperasi, pemberian
status badan hukum, permodalan, kepengurusan, kegiatan usaha simpan
pinjam Koperasi dan peranan Pemerintah. Oleh karena itu, untuk
mengatasi berbagai faktor penghambat kemajuan Koperasi, perlu diadakan
pembaharuan hukum di bidang Perkoperasian melalui penetapan landasan
hukum baru berupa Undang-Undang. Pembaharuan hukum tersebut harus
sesuai dengan tuntutan pembangunan Koperasi serta selaras dengan
perkembangan tata ekonomi nasional dan global.
Undang-Undang tentang Perkoperasian ini merupakan pengganti UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang memuat
pembaharuan hukum, sehingga mampu mewujudkan Koperasi sebagai
organisasi ekonomi yang sehat, kuat, mandiri, dan tangguh, serta
terpercaya sebagai entitas bisnis, yang mendasarkan kegiatannya pada nilai
dan prinsip Koperasi. Undang-Undang ini menegaskan bahwa pemberian
status dan pengesahan perubahan Anggaran Dasar dan mengenai hal
tertentu merupakan wewenang dan tanggung jawab Menteri. Selain itu,
Pemerintah memiliki peran dalam menetapkan kebijakan serta menempuh
langkah yang mendorong Koperasi sehingga dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Dalam menempuh langkah tersebut, Pemerintah wajib
menghormati jati diri, keswadayaan, otonomi, dan independensi Koperasi
tanpa melakukan campur tangan terhadap urusan internal Koperasi.
Di bidang keanggotaan, Undang-Undang ini memuat ketentuan yang secara
jelas menerapkan prinsip Koperasi di bidang keanggotaan, yaitu bahwa 
keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka, satu orang satu suara,
pengawasan Koperasi oleh Anggota, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan
ekonomi Koperasi. Ketentuan mengenai perangkat organisasi Koperasi
memuat adanya Pengawas dan Pengurus yang merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Pengawas bertugas memberi nasihat kepada
Pengurus dan melakukan pengawasan terhadap kinerja Pengurus,
sedangkan Pengurus bertugas mengelola Koperasi. Ketentuan mengenai
tugas dan wewenang Pengawas dan Pengurus disusun agar Pengawas dan
Pengurus bekerja secara profesional.
                                 Dalam . . .- 3 -
Dalam hal pengawasan Koperasi Simpan Pinjam, peran Pemerintah
diperkuat dengan pembentukan Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan
Pinjam yang langsung bertanggung jawab kepada Menteri. Selain itu dalam
hal jaminan terhadap Simpanan Anggota Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi
Simpan Pinjam diwajibkan menjamin Simpanan Anggotanya. Dalam kaitan
ini, Pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Anggota
Koperasi Simpan Pinjam. 
Undang-Undang ini mendorong perwujudan prinsip partisipasi ekonomi
Anggota, khususnya kontribusi Anggota dalam memperkuat modal
Koperasi. Salah satu unsur penting dari modal yang wajib disetorkan oleh
Anggota adalah Sertifikat Modal Koperasi yang tidak memiliki hak suara.
Sekalipun terdapat keharusan pemilikan Sertifikat Modal Koperasi ini,
namun Koperasi tetap merupakan perkumpulan orang dan bukan
perkumpulan modal. Undang-Undang ini juga memuat ketentuan mengenai
lembaga yang didirikan oleh Gerakan Koperasi. Ditegaskan bahwa Gerakan
Koperasi mendirikan suatu lembaga yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi
Koperasi, berupa dewan Koperasi Indonesia.
Ketentuan mengenai pembubaran Koperasi menyatakan bahwa
pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat
Anggota, jangka waktu berdirinya telah berakhir, atau keputusan Menteri.
Ketentuan tentang ketiga alternatif tersebut beserta penyelesaiannya diatur
di dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Undang-Undang ini disusun untuk
mempertegas jati diri Koperasi, asas dan tujuan, keanggotaan, perangkat
organisasi, modal, pengawasan, peranan Gerakan Koperasi dan Pemerintah,
pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan penjaminan Simpanan Anggota
Koperasi Simpan Pinjam, serta sanksi yang  dapat turut mencapai tujuan
pembangunan Koperasi. Implementasi Undang-Undang ini secara
konsekuen dan konsisten akan menjadikan Koperasi Indonesia semakin
dipercaya, sehat, kuat, mandiri, dan tangguh serta bermanfaat bagi Anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
                                  Pasal 4 . . .- 4 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kekeluargaan” adalah Koperasi dalam
melaksanakan usahanya mengutamakan kemakmuran Anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, bukan
kemakmuran orang-perseorangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menolong diri sendiri” adalah semua
Anggota Koperasi berkemauan dan sepakat secara bersamasama menggunakan jasa Koperasi untuk memenuhi
kebutuhannya dan mempromosikan Koperasi sehingga menjadi
kuat, sehat, mandiri, dan besar.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah segala
kegiatan usaha Koperasi harus dilaksanakan dengan prinsip
profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab,
efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai
tambah yang optimal bagi Koperasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “demokrasi” adalah setiap Anggota
Koperasi memiliki satu suara dan berhak ikut dalam
pengambilan keputusan yang berlangsung dalam Rapat
Anggota, tidak tergantung kepada besar kecilnya modal yang
diberikan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “persamaan” adalah setiap Anggota 
Koperasi memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam 
melakukan transaksi dan mendapatkan manfaat ekonomi
dengan berkoperasi.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “berkeadilan” adalah kepemilikan
peluang dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara
sesuai kemampuannya untuk menjadi Anggota Koperasi.
                               Huruf g . . .- 5 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kemandirian” adalah dapat berdiri
sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh
suatu kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan,
kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian
terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggung
jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan
perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Koperasi merupakan organisasi swadaya dengan keanggotaan
secara sukarela, terbuka bagi semua orang yang mampu dan
membutuhkan memanfaatkan layanannya dan bersedia
menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa diskriminasi
atas dasar gender, sosial, ras, politik, atau agama.
Huruf b
Koperasi merupakan organisasi demokratis yang diawasi dan
dikendalikan oleh Anggotanya. Anggota berpartisipasi aktif
dalam menentukan kebijakan  dan membuat keputusan.
Anggota yang ditunjuk sebagai wakil Koperasi dipilih dan
bertanggung jawab kepada Anggota dalam rapat Anggota.
Setiap Anggota memiliki hak suara yang sama, satu Anggota
satu suara. 
Huruf c
Selain sebagai pemilik Koperasi, Anggota Koperasi sekaligus
pengguna jasa atau pasar bagi koperasinya. Partisipasi aktif
dalam kegiatan ekonomi Koperasi merupakan sumber
kekuatan utama bagi kemajuan Koperasi. 
Huruf d
Koperasi merupakan organisasi otonom dan swadaya yang
diawasi dan dikendalikan oleh Anggota. Jika Koperasi
mengadakan perjanjian dengan organisasi lain, termasuk
Pemerintah atau menambah modal dari sumber lain, mereka
melakukan hal itu atas dasar syarat  yang menjamin tetap
terselenggaranya pengawasan dan pengendalian demokratis
oleh Anggotanya dan tetap tegaknya otonomi Koperasi.
                                Huruf e . . .- 6 -
Huruf e
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi Anggota,
Pengawas, Pengurus, dan karyawan dimaksudkan agar mereka
dapat memberikan sumbangan secara efektif bagi
perkembangan Koperasi. Pemberian informasi pada
masyarakat, khususnya generasi muda dan pemuka
masyarakat tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan
Koperasi adalah sangat prinsipil.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
                                Pasal 17 . . .- 7 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Anggota sebagai pemilik” adalah pemilikan
Anggota atas badan usaha Koperasi dengan tanggung jawab
terbatas sebesar modal yang disetor Anggota.
Yang dimaksud dengan “Anggota sebagai pengguna jasa Koperasi”
adalah penggunaan atau pengambilan manfaat ekonomi dari
pelayanan yang disediakan oleh Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
                             Pasal 27 . . .- 8 -
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesamaan kepentingan ekonomi” adalah
kesamaan dalam hal kegiatan usaha,  produksi, distribusi, dan
pekerjaan atau profesi. Kesamaan kepentingan ekonomi sangat
terkait dengan latar belakang jenis Koperasi, yaitu Koperasi
Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Jasa, dan Koperasi Simpan
Pinjam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindahtangankan karena salah
satu dasar keanggotaan Koperasi adalah kepentingan ekonomi yang
melekat pada Anggota yang bersangkutan.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Berpartisipasi aktif dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan
oleh Koperasi merupakan hak Anggota untuk memanfaatkan
jasa pelayanan Koperasi sesuai dengan kebutuhannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mengembangkan dan memelihara
nilai” adalah mengusahakan pengamalan nilai-nilai 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, peningkatan oleh
Anggota, dan penerapan dalam kegiatan Koperasi. Di samping
itu, Anggota berkewajiban menjaga agar tidak terjadi
pengikisan nilai di dalam Koperasi serta mengusahakan dan
menjaga agar nilai dan prinsip Koperasi dipatuhi dan
dijalankan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
                                Huruf b . . .- 9 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Agar Anggota memanfaatkan jasa yang disediakan oleh
Koperasi maka Koperasi wajib mengetahui apa yang menjadi
kebutuhan Anggotanya, sehingga terdapat kesesuaian antara
apa yang disediakan sebagai bentuk pelayanan Koperasi
dengan apa yang dibutuhkan oleh Anggota.
Huruf f
Keterangan mengenai perkembangan Koperasi antara lain
berupa perkembangan tentang kekayaan Koperasi, utang
Koperasi, dan kekayaan modal Anggota.
Huruf g
Selisih Hasil Usaha merupakan hak Anggota yang diperoleh
berdasarkan besarnya transaksi Anggota dan kepemilikan
Sertifikat Modal Koperasi.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Rapat Anggota merupakan perwujudan kehendak para Anggota untuk
membicarakan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan dan
pelaksanaan kegiatan Koperasi, serta memiliki segala wewenang yang
tidak diberikan kepada Pengawas atau Pengurus dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
                                Ayat (2) . . .- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”mempertimbangkan jumlah Anggota”
adalah bahwa dalam penentuan hak suara, dipertimbangkan unsurunsur jumlah anggota dari Koperasi Anggota dan besar kecilnya
volume usaha atau kekayaan bersih Koperasi. Koperasi Sekunder
yang bersangkutan perlu menciptakan rumus penentuan hak suara
yang didasarkan pada asas keadilan dan disepakati oleh seluruh
Anggota.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Menteri dapat mendelegasikan wewenang kepada
Gubernur/Bupati/Walikota untuk memerintahkan Pengurus
Koperasi agar menyelenggarakan Rapat Anggota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
                                 Ayat (2) . . .- 11 -
Ayat (2)
Laporan keuangan yang diajukan kepada Rapat Anggota harus
ditandatangani oleh semua Pengurus, karena laporan ini
merupakan pertanggungjawaban mereka dalam melaksanakan
tugasnya.
Apabila ada di antara Pengurus tidak menandatangani maka
alasannya perlu dijelaskan secara tertulis kepada Rapat Anggota,
agar Rapat Anggota dapat menggunakannya sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap laporan
tersebut.
Pasal 39
Penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota berarti
membebaskan Pengurus dari tuntutan hukum pada tahun buku yang
bersangkutan.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
                                   Pasal 50 . . .- 12 -
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kesalahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah melakukan
tindakan di luar Anggaran Dasar dan ketentuan lain yang berlaku di
Koperasi yang bersangkutan. Hal-hal yang mempengaruhi
perkembangan usaha Koperasi dari perubahan/perkembangan
eksternal Koperasi tidak dapat dikategorikan sebagai kesalahan
Pengurus.
                                  Ayat (4) . . .- 13 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kesalahan yang menimbulkan kerugian
pada Koperasi” adalah kesalahan Pengurus sebagai pengelola
Koperasi yang mengakibatkan kerugian material pada Koperasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila Pengurus yang bersangkutan tidak hadir maka Rapat
Anggota tetap dapat memberhentikannya.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Modal awal yang terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal
Koperasi tidak boleh berkurang jumlahnya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Modal Penyertaan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan
usaha Koperasi yang produktif dan prospektif, baik usaha yang
diselenggarakan sendiri oleh Koperasi maupun dengan cara
kerjasama usaha secara kemitraan dengan pihak lain.
Huruf c
Cukup jelas.
                                  Huruf d . . .- 14 -
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Setoran pokok tidak dapat dikembalikan kepada Anggota pada saat
yang bersangkutan keluar dari keanggotaan Koperasi.  Setoran
Pokok mencerminkan ciri sebagai modal tetap Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Penetapan jumlah minimum Sertifikat Modal Koperasi bagi setiap
Anggota dimaksudkan sebagai kontribusi modal minimum tiap
Anggota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Sertifikat Modal Koperasi dalam bentuk lain yaitu tanah,
kendaraan,  dan lain-lain yang dapat dinilai dengan uang oleh 
penilai  dan berlaku sah, apabila kepemilikan tanah atau kendaraan
tersebut telah dialihkan atas nama Koperasi yang bersangkutan.
                              Ayat (6) . . .- 15 -
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jumlah lembar, nomor, dan tanggal
perolehan” adalah riwayat perolehan dari Sertifikat Modal
Koperasi dan Modal Penyertaan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jumlah dan nilai Sertifikat Modal
Koperasi dan nilai Modal Penyertaan” adalah jumlah dan nilai
secara keseluruhan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
                                 Pasal 78 . . .- 16 -
Pasal 78
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sebanding dengan transaksi usaha“
adalah Surplus Hasil Usaha bagian  Anggota besar kecilnya
ditentukan berdasarkan transaksi tiap-tiap Anggota kepada
Koperasinya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sebanding dengan  Sertifikat Modal
Koperasi yang dimiliki” adalah Surplus Hasil Usaha bagian
Anggota didasarkan kepada jumlah keseluruhan Sertifikat
Modal yang dimiliki oleh seorang Anggota. Jumlah keseluruhan
Sertifikat Modal Koperasi yang dimiliki Anggota, dapat berupa
Sertifikat Modal Koperasi awal yang wajib dimiliki secara
minimum, Sertifikat Modal Koperasi tambahan, Sertifikat
Modal Koperasi warisan, dan/atau Sertifikat Modal Koperasi
yang berasal dari pembelian Sertifikat Modal Koperasi milik
Anggota lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”bonus” adalah tambahan imbalan atau
gaji yang diberikan sebagai bagian dari  Surplus  Hasil  Usaha
untuk meningkatkan gairah kerja Pengawas, Pengurus, dan
karyawan Koperasi. Besarnya bonus ditetapkan berdasarkan
keputusan Rapat Anggota.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “dana pembangunan Koperasi” adalah
dana yang dihimpun dari Koperasi oleh dewan Koperasi
Indonesia untuk memajukan organisasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
                                  Pasal 81 . . .- 17 -
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
                                Pasal 96 . . .- 18 -
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini menegaskan bahwa hak dan kewajiban Koperasi yang
berstatus ”Koperasi dalam Penyelesaian”, masih tetap ada untuk
menyelesaikan seluruh urusannya. Agar  masyarakat
mengetahuinya, di depan kantor Koperasi dipasang pengumuman
yang memuat frasa ”Koperasi dalam Penyelesaian”.
                                  Ayat (5) . . .- 19 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pihak lain yang diperlukan” antara lain
adalah bekas Anggota, pejabat Pemerintah, pejabat Lembaga
Gerakan Koperasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
                              Pasal 115 . . .- 20 -
Pasal 115
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan  "dewan Koperasi Indonesia” yang
selanjutnya disingkat Dekopin merupakan kelanjutan dari Sentral
Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia disingkat SOKRI, yang
didirikan pada tanggal 12 Juli 1947 oleh Kongres Koperasi Seluruh
Indonesia yang Pertama, yang diselenggarakan di Tasikmalaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Penyediaan anggaran dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
bagi kegiatan dewan Koperasi Indonesia didasarkan atas
kemampuan, ketersediaan anggaran, dan skala prioritas
pembangunan nasional dan daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
                             Pasal 124 . . .- 21 -
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5355